Saturday, November 27, 2010

26 Nov 2010: Hari Terakhir dan Hari Pertama

26 November 2010 adalah hari terakhir saya di syarikat pertama saya bekerja iaitu Taitsu Electronics (M) Sdn Bhd. Mula bekerja sejak 18 September 2006 dan pelbagai pengalaman yang diperolehi di sini dari segi pengalaman bekerja di kilang, disiplin kerja orang Jepun, politik di tempat kerja dan lain-lain. Bertugas di dalam Jabatan R&D selama 4 tahun lebih (assabiqun awwalun R&D) dan berperanan dalam pembangunan produk-produk baru untuk pelanggan seperti Matsushita, Toshiba, Panasonic, Samsung, LG, Fujitsu, Hitachi dan yang terbaru adalah Denso. Moga-moga, pengalaman ini akan terus mematangkan diri untuk bekerja di tempat baru bermula 1 Disember ini. Selalu juga berdoa agar dikurniakan kerjaya yang sesuai untuk diri, keluarga, agama dan kerjaya, dan harapnya inilah yang terbaik dikurniakan oleh Allah.

26 November 2010 juga adalah hari pertama saya bergelar seorang abah atau ayah. Alhamdulillah, isteri saya selamatkan melahirkan seorang mujahid lelaki (baby boy) seberat 3.3kg pada 4:30pm. Berpeluang menemani isteri dalam labour room dan barulah sedar betapa sakit dan peritnya emak melahirkan saya 27 tahun yang lepas. Begitu besar pengorbanan seorang ibu. Semoga kelahiran mujahid kecil ini menjadi perancak dalam dakwah yang saya dan isteri pikul dan memberi 1001 kebahagian dan kekuatan dalam mengharungi kehidupan mendatang. Semoga diberi kekuatan, kecerdikan dan kesabaran yang lebih kuat dalam menjadi seorang suami, seorang bapa, seorang anak, seorang hamba Allah dan seorang kuli dakwah.

Amin Ya Rabbal Alamin.... 

Sunday, November 14, 2010

10 Ciri Kader Handalan

Ada ungkapan yang mengatakan, “yang tidak memiliki tak kan bisa memberi”. Bagi seorang kader dakwah, ungkapan itu menggambarkan perlunya membentuk karakter yang memungkinkannya menjadi salah satu motor penggerak dakwah. Ini pula yang akan membedakannya dengan orang kebanyakan. Agar ia selalu bisa ’memberi’ di tengah kekacauan umat.

1. Salimul Aqidah (Aqidahnya Bersih)
Akidah adalah asas dari amal. Amal-amal yang baik dan diridhai Allah lahir dari aqidah yang bersih. Dari sini akan lahir pribadi-pribadi yang memiliki jiwa merdeka, keberanian yang tinggi, dan ketenangan. Sebab, tak ada ikatan dunia yang mampu membelenggunya, kecuali ikatan kepada Allah swt. Seorang kader dakwah yang baik akan selalu menjaga kemurnian aqidahnya dengan memperhatikan amalan-amalan yang bisa mencederai keimanan dan mendatangkan kemusyrikan. Sebaliknya, selalu berusaha melakukan amalan-amalan yang senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt.
Aplikasi: Senantiasa bertaqorrub (menjalin hubungan) dengan Allah, ikhlas dalam setiap amal, mengingat hari akhir dan bersiap diri menghadapinya, melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, dzikrullah di setiap waktu dan keadaan, menjauhi praktik yang membawa pada kemusyrikan.

2. Shahihul Ibadah (Ibadahnya Benar)
Ibadah, wajib dan sunnah, merupakan sarana komunikasi seorang hamba dengan Allah swt. Kedekatan seorang hamba ditentukan oleh intensitas ibadahnya. Ibadah menjadi salah satu pintu masuk kemenangan dakwah. Sebab, ibadah yang dilakukan dengan ihsan akan mendatangkan kecintaan Allah swt. Dan kecintaan Allah akan mendatangkan pertolongan.
Aplikasi: Menjaga kesucian jiwa, berada dalam keadaan berwudhu di setiap keadaan, khusyu dalam shalat, menjaga waktu-waktu shalat, biasakan shalat berjamaah di masjid, laksanakan shalat sunnah, tilawah al-Qur’an dengan bacaan yang baik, puasa Ramadhan, laksanakan haji jika ada kesempatan.

3. Matinul Khuluq (Akhlaqnya Tegar)
Seorang kader dakwah harus ber-iltizam dengan akhlaq islam. Sekaligus memberikan gambaran yang benar dan menjadi qudwah (teladan) dalam berperilaku. Kesalahan khuliqiyah pada seorang kader dakwah akan berdampak terhadap keberhasilan dakwah.
Aplikasi: Tidak takabur, tidak dusta, tidak mencibir dengan isyarat apapun, tidak menghina dan meremehkan orang lain, memenuhi janji menghindari hal yang sia-sia, pemberani, memuliakan tetangga. Bersungguh-sungguh dalam bekerja, menjenguk orang sakit, sedkit bercanda, tawadhu tanpa merendahkan diri.

4. Qadirul’alal Kasb (Kemampuan Berpenghasilan)
Kita mengenal prinsip dakwah yang berbunyi ”shunduquna juyubuna (sumber kewangan kita dari kantong kita sendiri)”. Yang bererti setiap kader harus menyadari bahwa dakwah membutuhkan pengorbanan harta. Oleh karena itu setiap kader dakwah harus senantiasa bekerja dan berpenghasilan dengan cara yang halal. Tidak menjadikan dakwah sebagai sumber kehidupan.
Aplikasi: Menjauhi sumber penghasilan haram, menjauhi riba, membayar riba, membayar zakat, menabung meski sedikit, tidak menunda hak dalam melaksanakan hak orang lain, bekerja dan berpenghasilan, tidak berambisi menjadi pegawai negeri. Mengutamakan produk umat Islam, tidak membelanjakan harta kepada non-muslim.

5. Mutsaqaful Fiqr (Fikirannya Intelek)
Intelektualitas seorang kader dakwah menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan dakwah. Sejarah para nabi juga memperlihatkan hal itu. Kita melihat bagaimana ketinggian intelektualitas Nabi Ibrahim, dengan bimbingan wahyu, mampu mematahkan argumentasi Namrud. Begitu pula kecerdasan Rasul dalam mengemban amanah dakwahnya, sehingga ia digelari fathonah (orang yang cerdas).
Aplikasi: Baik dalam membaca dan menulis. Upayakan mampu berbahasa Arab, menguasai hal-hal tertentu dalam masalah fiqih seperti shalat, thaharah dan puasa, memahami syumuliatul Islam, memahami ghazwul fikri, mengetahui problematika kaum nasional dan internasional, menghafal al-Qur’an dan hadits, memiliki perpustakaan pribadi sekecil apapun.

6. Qawiyul Jism (Fizikalnya Kuat)
Beban dakwah yang diemban para kader dakwah sangat berat. Kekuatan ruhiyah dan fikriyah saja tidak cukup untuk mengemban amanah itu. Harus ditopang oleh kekuatan fizik yang prima. Sejumlah keterangan al-Qur’an dan Hadits menjelaskan betapa pentingnya aspek ini.
Aplikasi: Bersih pakaian, badan dan tempat tinggal, menjaga adab makan dan minum sesuai dengan sunnah, berolahraga, bangun sebelum fajar, tidak merokok, selektif dalam memilih produk makanan, hindari makanan/minuman yang menimbulkan ketagihan, puasa sunnah dan memeriksakan kesihatan.

7. Mujahidu Linafsihi (Bersungguh-sungguh)
Bersungguh-sungguh adalah salah satu ciri orang mukmin. Tak ada keberhasilan yang diperoleh tanpa kesungguhan. Kesedaran bahwa kehidupan manusia di dunia ini sangat singkat, dan kehidupan abadi adalah kehidupan akhirat, akan melahirkan kesungguhan dalam menjalani kehidupan.
Aplikasi: Menjauhi segala yang haram, menjauhi tempet-tempat maksiat, memerangi dorongan nafsu, selalu menyertakan niat jihad, hindari mengkonsumsi yang mubah, menyumbangkan harta untuk amal islami, menyesuaikan perkataan dengan perbuatan, memenuhi janji, sabar, berani menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

8. Munazham Fi Syu’unihi (Teratur Dalam Semua Urusannya)
Seorang kader dakwah harus mampu membangun keteraturan dalam kehidupan pribadi dan keluarganya agar bisa menghadapi persoalan umat yang rumit dan kompleks.
Apalikasi: Memperbaiki penampilan, jadikan shalat sebagai penata waktu, teratur di dalam rumah dan tempat kerjanya, disiplin dalam bekerja, memprogram semua urusan, berpikir secara ilmiah untuk memecahkan persoalan, tepat waktu dan teratur.

9. Haritsun ’Ala Waqtihi (Efisyen Menjaga Waktu)
Untuk menggambarkan betapa pentingnya waktu, ada pepatah mengatakan ”waktu ibarat pedang”. Bila tak mampu dimanfaatkan maka pedang waktu akan menebas leher kita sendiri. Seorang kader harus mampu seefektif mungkin memanfaatkan waktu yang terus bergerak. Tak boleh ada yang terbuang percuma.
Aplikasi: Bangun pagi, menghabiskan waktu untuk belajar, mempersingkat semua urusan (tidak bertele-tele). Mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat, tidak tidur setelah fajar.

10. Nafi’un Lighairihi (Berguna Bagi Orang Lain)
Rasul menggambarkan kehidupan seorang mukmin itu seperti lebah yang akan memberi manfaat pada lingkungan sekitarnya. Kader dakwah memberi manfaat karena setiap ucapan dan gerakannya akan menjadi teladan bagi sekitarnya.
Aplikasi: Melaksanakan hak orang tua, ikut berpartisipasi dalam kegembiraan, membantu yang membutuhkan, menikah dengan pasangan yang sesuai, komitmen dengan adab Islam di dalam rumah, melaksanakan hak-hak pasangannya (suami-istri), melaksanakan hak-hak anak, memberi hadiah pada tetangga, mendo’akan yang bersin.



Wednesday, November 10, 2010

Kapasitor


Rajah 1: Plastic Film Capacitor

Kapasitor (capacitor) ataupun kondenser (condenser) adalah komponen elektronik yang mengandungi sepasang konduktor yang dipisahkan oleh dielektrik yang bertindak sebagai penebat elektrik. Apabila berlakunya ketidakseimbangan voltan di antara konduktor, lapangan elektrik wujud di dalam dielektrik. Lapangan elektrik ini akan menyimpan tenaga dan menghasilkan tenaga mekanikal di antara konduktor. Kapasitor berfungsi hampir sama dengan bateri. Walaupun kedua-duanya beroperasi dalam cara yang berbeza, kedua-dua kapasitor dan bateri berfungsi menyimpan tenaga elektrik.

Rajah 2: Ciri - Ciri Kapasitor

Kapasitor yang ideal diterjemahkan dengan nilai kapasitan (capacitance), yang diukur dalam unit farad. Kapasitan, C, adalah nisbah antara cas elektrik, Q, pada setiap konduktor dengan perbezaan voltan, V, di antara kedua-duanya. Maka, jika tinggi cas elektrik pada setiap konduktor, semakin tinggilah nilai kapasitan bagi sebuah capacitor.

Rajah 3: Simbol Kapasitor

Jika diimbas kembali artikel "Bateri" saya sebelum ini, tidak lari sangat tempo tujuan artikel kali ini. Maka, tujuan sebuah kapasitor tidak akan terpesong andainya cas-cas elektrik tetap saja wujud dalam badannya. Begitu juga seorang Muslim, pentingnya menjaga cas-cas keimanan supaya tidak lari temponya atau tidak terkejut orang melihat peribadinya. Bertambah tinggi cas keimanan seseorang itu, maka bertambah baiklah peribadinya dan di situ lah perlunya pengawalan peribadi supaya tidak larut mengikut suasana. 

Firman Allah: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab, 33: 21)

Dalam kita mengharap menjadi suri teladan seperti Rasulullah s.a.w., maka perlulah kita explore sunnahnya yang paling besar iaitu amar makruf dan nahi mungkar. Itu sebabnya, bagi penggiat usrah, pasti adanya sistem muhasabah ataupun mutaba'ah dalam menjamin cas-cas keimanan berada dalam tahap optimum. Dan bagi, mereka yang belum mengikut usrah, ketahuilah bahawa usrah dan halaqah ini adalah medium terbaik bagi diri kita untuk mengecas iman kita menjadi lebih baik.


* Terfikir hendak membuat artikel tentang kapasitor pada hari-hari terakhir di Taitsu Electronics (M) Sdn Bhd dan menterjemahkan kepada bentuk artikel Islamik.

Saturday, November 6, 2010

Penilaian Tahap Kecekapan (PTK)

"Sekarang ni, ana sedang cepat untuk menghabiskan silibus 02 supaya anak-anak usrah ana boleh dinaikkan ke level 03." ujar seorang akhwat dalam suatu mesyuarat.

Begitulah caranya dalam menentukan tahapan mad'unya di dalam dakwah ini. Cuma, yang harus kita muhasabah kembali, adakah 100% bergantung kepada silibus? Bagaimana jika seorang ikhwah dan akhwat yang kononnya telah habis silibus 02 tetapi belum mampu untuk bergerak dan membentuk halaqah? Itu sebabnya, banyak aspek yang perlu diterokai apabila kita membuat penilaian terhadap seseorang mad'u. Sama seperti apabila seorang Ustaz yang mengajar Al-Quran dan Tajwid kepada anak-anak muridnya. Bagaimana keadaanya jika silibus untuk tahun itu sudah habis diajar tetapi terdapat sebilangan anak muridnya yang masih tidak pandai mengajar Al-Quran? Bagi si Ustaz, tiada masalah bagi dirinya kerana silibus telah habis diajar tetapi bagaimana pula dengan ibu bapa murid tersebut? Sudah tentu ketidak puasan hati berlaku kerana si Ustaz gagal memenuhi hajat mereka supaya anak mereka pandai membaca Al-Quran.

Lain pula kisahnya jika dibandingkan pada zaman para Sahabat. Abu Dzar al-Ghifari, walaupun baru sekali liqa' dengan Rasulullah terus meluru ke tengah kaum musyrikin mengisytiharkan keislamannya. Meskipun dibelasah teruk oleh kaum musyrikin, namun dia tidak serik-serik untuk cuba menyebarkan Islam. Meskipun usia tarbiyah Abu Dzar adalah di level 00, namun usaha dakwahnya adalah lebih tinggi dari level 03. Kesimpulannya, dalam dakwah ini memerlukan penilaian yang tepat terhadap seorang dai'e atau dai'eat. Tetapi, level-level ini bukanlah perkara yang terlalu mustahak untuk kita bincangkan sebaliknya bagaimana gerak kerja serta muwasofat yang perlu dilengkapkan oleh seorang ikhwah dan akhwat itu diambil kira agar melahirkan peribadi seperti Abu Dzar. 

Penilaian pada diri seseorang cukup penting, bukan hanya dalam konteks dakwah, tetapi merangkumi aspek yang lebih luas. Sebagai contoh, dalam sebuah syarikat, sekiranya pengurusan tidak tepat membuat penilaian pada diri pekerja-pekerjanya, kelak akan memberi kesan buruk pada syarikat tersebut. Sebagai contoh, pekerja yang terlibat dalam Sales & Marketing selama berbelas-belas tahun, tiba-tiba dilantik sebagai Manager dalam Engineering Department yang ternyata memerlukan kemahiran dalam bidang teknikal.. Meskipun mempunyai pengalaman bekerja yang banyak, tetapi, ternyata kekosongannya dalam bidang teknikal akan merosakkan potansi diri dia dan juga department yang dia uruskan. Sama juga kesnya, jika seorang yang mempunyai latar pendidikan yang tinggi, Ijazah Sarjana tetapi tiada pengalaman bekerja, tiba-tiba dilantik menjadi Manager dalam R&D Department, di mana anak-anak buahnya jauh lebih berpengalaman dari bosnya. Akhirnya, akan berlakulah konflik di dalam department tersebut apabila pekerja bawahan yang terpaksa mengajar orang atasan. Maka, inilah contoh penilaian yang gila atau tidak berakal yang jelas akan merosakkan institusi syarikat tersebut.

Berdasarkan contoh-contoh ini, sama-sama kita berusaha dan berdoa agar dalam dakwah ini, diri kita bijak dalam membuat Penilaian Tahap Kecekapan (PTK). Ini kerana, PTK dakwah yang bijak dan tepat akan menguatkan institusi dakwah itu sendiri manakala PTK yang gila dan tidak berasas sudah pasti akan menghancurkan dan meruntuhkan institusi tersebut.

Monday, November 1, 2010

Surah Al-Falaq (Hizbullah vs Hizbus Syaitan)

Asbabun Nuzul:
Diturunkan berikutan sihir yang dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Labid bin al-A’som terhadap Baginda sebagaimana yang diriwayatkan di dalam hadith sahih Bukhari dan Muslim drpd A’isyah. Dia telah menyihir baginda dalam sebuah perigi di Qasr al-Tol’l. Di situ, terdapat gumpalan rambut Baginda yang gugur selepas disikat dan gigi sisir serta tali busur panah yang disimpulkan dengan sebelas simpulan yang dicucuk dengan jarum. Lalu Allah turunkan dua surah ini. Allah takdirkan setiap kali dibacakan satu ayat, terungkailah satu simpulan sehinggalah terungkai simpulan terakhir. Baginda pun bangkit berdiri dengan tangkas bagaikan Baginda telah terlepas dari rasukan.

Kelebihan Surah:
Ahmad Abu Dawud, al-Tirmizi dan Nasa’I meriwayatkan juga dari Uqbah bin Amir katanya: “Rasulullah telah menyarankan kepadaku agar membaca setiap lepas solat tiga surah al-Muawwizat (al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas).”

Nasa’i meriwayatkan dari Abi Abdullah bin Aabis al-Juhani bahawa nabi bersabda kepadanya: “Wahai Ibnu Aabis! Mahukah engkau aku tunjukkan atau mahukah aku ceritakan kepadamu tentang sebaik-baik pendinding bagi sesiapa yang inginkan ayat pendinding?” Jawabnya: “Tentu sahaja wahai Rasulullah.” Baginda bersabda: “Surah al-Falaq dan al-Nas. Dua surah inilah.”

Bukhari meriwayatkan daripada A’isyah bahawa nabi apabila ingin berbaring di tempat tidurnya setiap malam menghimpunkan dua tapak tangannya, kemudian Baginda menghembuskannya sambil membaca al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas. Kemudian, Baginda mengusap-usap dengan kedua-dua tangan sekujur jasad baginda sekadar yang boleh. Dimulakan dengan kepalanya, mukanya dan hadapan badannya dan diulangi perbuatan itu sebanyak 3 kali.

Perbahasan:
Surah Al-Falaq ini lebih menerangkan atau mengenalpasti jenis-jenis musuh yang akan dihadapi oleh orang Islam sama ada yang boleh dilihat secara lahiriah ataupun tidak. Mengetahui golongan Hizbus Syaitan yang merupakan gabungan iblis, manusia kafir dan jin kafir (rujuk dalil 36:60, 6:112, 114:5 dan 34:21). Iblis ini akan memasuki ke dalam manusia manapun untuk menyelewengkannya dari jalan Allah s.w.t. (rujuk juga dalil 17:62). Apabila sudah mengenali ciri-ciri golongan ini, akan terjadilah pertarungan di antara golongan Hizbus Syaitan dan golongan Mu’min di mana matlamat utama golongan Hizbus Syaitan adalah untuk membentuk peribadi yang buruk di kalangan orang Mu’min.

Di dalam surah ini, Allah mengkhususkan supaya kita meminta pertolongan-Nya dari tiga golongan Hizbus Syaitan iaitu:

Pertama: Malam apabila kegelapannya semakin gelap, kerana malam sebagaimana yang disebut oleh Fakhru al-Razi adalah saat binatang buas dan binatang melata keluar dari persembunyiannya, saat di mana pencuri dan penjahat melakukan pencerobohan, saat berlakunya kebakaran, kurangnya pertolongan dan saat di mana orang-orang jahat bersemangat melakukan kejahatan.

Kedua: Ahli sihir wanita yang meniup-niup pada simpulan benang; wahana sihir apabila menjampi. Allah mengumpamakan tiupan itu sebagaimana lagak orang yang berjampi untuk merawat orang sakit.

Ketiga: Sikap orang yang dengki apabila ia sakit hati dan menyiapkan muslihatnya. Orang yang dengki mengharapkan hilangnya nikmat dari diri orang yang didengkinya meskipun ia sendiri mungkin tidak dapat nikmat berkenaan.

Dengan wujudnya golongan Hizbus Syaitan ini, maka perlulah golongan Hizbullah (Parti Allah) memainkan peranan. Maka, ciri-ciri golongan Hizbullah perlulah mempunyai dua jenis akhlak utama:

A) Akhlak Dasar
- Mencintai Allah (5:54)
- Lemah lembut terhadap golongan Mu’min (48:29)
- Tegas terhadap golongan kuffar (48:28-29)
- Berjihad di jalan Allah (9:23-24)
- Tidak takut dicela (86:6)
- Taat dan Wala’ kepada Allah, Rasul dan orang Mu’min (5:55-56)

B) Akhlak Pergerakan
- Tidak ragu-ragu (8:45-47)
- Zikrullah (13:28)
- Taat kepada Allah dan Rasul (4:80)
- Saling bersatu (3:103)
- Sabar (3:146)
- Tawadhu’ (tidak sombong) (26:215)
- Ikhlas (tidak riya’) (39:11-14)
- Membantu jalan Allah (8:45-47)

Maka, jika benarlah kita mahu menjadi golongan Hizbullah, ayuh kita periksa, adakah mempunyai dua jenis akhlak yang utama ini. Sudah tentu, banyak segi yang perlu dikuatkan atau ditampungi untuk menjadi golongan yang terbaik di sisi Allah.


Rujukan:
1) Prof. Dr. Wahbah Mustaffa al-Zuhaily, “Tafsir al-Munir (Juz Amma),” Persatuan Ulama Malaysia & Intel Multimedia and Publication, 2007.
2) Dr. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, “Tafsir Ibnu Katsir (Jilid 8),” Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008.